Monday, May 16, 2011

Jangan Panggil Kembali Orbaisme

Jakarta - Survei Indobarometer yang menyebut Presiden Soeharto menempati urutan pertama sebagai presiden yang paling disukai publik, tentu membuat kontroversi. Menurut survei itu sebanyak 36,54 persen dari 1.200 responden di seluruh Indonesia memilih Presiden Soeharto. Di bawah Soeharto barulah SBY. Dan berturut-turut Soekarno, Megawati, dan BJ Habibie serta Gus Dur.

Saya kira, kecenderungan meningkatnya image Soeharto seperti itu terjadi karena makin besarnya propaganda buruk tentang reformasi dibanding memberi makna positif atas perubahan pasca otoriterisme. Sehingga, masalah-masalah yang dialami demokratisasi seperti oligarki, elitisme, dan korupsi diolah untuk memanggil ulang romansa orbaisme. Dengan demikian, bukan berarti reformasi lebih buruk dibanding zaman Soeharto.

Selain itu, saya menilai para alumni Orde Baru yang merasa dirugikan oleh reformasi bergerilya untuk memojokkan arus berubahan sekarang ini. Kegagalan reformasi kemudian dipakai untuk meningkatkan citra Orde Baru dan Soeharto.

Para responden itu 'sengaja dilupakan' watak fasisme Orde Baru dan otoriterisme masa lalu, karena di media begitu buruk membuat citra reformasi yang dianggap terlalu bermasalah.

Kita perlu ingatkan secara fair dan jernih, bahwa di jaman Habibie, keran demokrasi dibuka dan rakyat memiliki akses bagi politik secara leluasa, sekaligus cikal bakal perubahan ke arah yang lebih baik. Demikian halnya pada era Gus Dur, pluralisme diperkuat sebagai jaminan demokrasi, dan era Gus Dur pula mendorong politik supremasi sipil dan agar terjadi reformasi sektor pertahanan dan keamanan.

Sementara era Megawati, dorongan untuk memperkuat kembali nasionalisme, serta ide-ide kerakyatan juga dilakukan. Pada era SBY, gerakan pemerintahan bersih dengan pemberantasan korupsi kian marak, penegakan HAM dan pelembagaan ruang keterbukaan sipil juga terus digiatkan.

Kisah-kisah positif dan manfaat baik era reformasi dengan presiden-presiden seperti itu tidak terjadi pada zaman Orde Baru di mana Soeharto memimpin saat itu. Nah perubahan positif era reformasi sengaja ditenggelamkan saat masalah demokratisasi era transisional ini belum sempurna.

Dengan demikian, secara substantif, survei itu jangan dijadikan tolok ukur penentu kinerja perubahan, atau jangan sampai survei itu diolah oleh politisi menjadi jebakan pemanggilan 'roh' otoriterisme baru dengan menguatnya memori Soehartoisme. Demikian pula, secara metodologi survei itu perlu diperdebatkan, supaya setiap penyimpulan politik direspons secara kritis dan jangan ditelan mentah-mentah.

Tantangan bagi kita adalah, bagaimana para aktivis prodemokrasi secara intensif melakukan konsolidasi untuk mendorong percepatan demokratisasi, sekaligus secara bersamaan membendung orbaisme Soeharto jangan sampai kekuatan lama bangkit.

*) Arie Sudjito adalah dosen FISIPOL UGM dan Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Pergerakan Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More