Wednesday, May 25, 2011

Pungutan di SMA 1 Dikeluhkan

KLATEN—Pungutan kelulusan di SMAN 1 Jogonalan, Klaten  sebesar Rp 200.000, dikeluhkan oleh sebagian orangtua murid. Pasalnya, tidak ada kejelasan maupun bukti hitam di atas putih terkait penarikan tersebut.
Salah satu orangtua murid, Teguh (54) mengaku keberatan dengan penarikan tersebut. Ia mengaku hanya diberi tahu secara lisan waktu mengambil pengumuman kelulusan. Bahkan ketika anaknya membayar, tidak disertai kuitansi.
"Saat pengumuman kelulusan saya dan wali murid lainnya diberi tahu tentang iuran itu, yang telah disepakati komite sekolah. Tapi saat kami tanya mana surat persetujuannya, mereka tidak bisa menunjukkan dan dibilang tidak ada," ucap Teguh yang dihubungi di Klaten, Rabu (25/5).
Menurut pria yang bekerja di salah satu Puskesmas di Yogyakarta itu, yang penting adalah kejelasan penggunaan dan penerimaan uang yang telah dia bayarkan untuk uang perpisahan tersebut.
"Menurut kami ini merupakan kabar yang mendadak, karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan tentang  itu," paparnya.
Meski demikian, Teguh mengaku tidak ada tekanan dari sekolah terkait pungutan tersebut. Dia mengatakan, tidak ada penyataan dari sekolah jika ingin mengambil surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) harus membayar.
Empat Item
Saat dikonfirmasi, Ketua Komite Sekolah, Kurdi mengaku uang tersebut akan digunakan untuk membeli empat item untuk melengkapi alat pendukung pengajaran, salah satunya LCD untuk laboratorium Fisika. Mereka juga telah merapatkan sebelumnya terkait hal itu.
"Selain LCD juga pengecatan meja dan bangku sekolah. Sebelumnya kami rapat dengan anggota komite  dan beberapa perwakilan murid. Mereka menyetujui usulan itu karena itu mendukung kegiatan belajar mengajar," jelas Kurdi yang saat dihubungi via ponselnya tengah berada di Jakarta, Rabu (25/5).
Kurdi menegaskan pungutan itu merupakan keputusan yang telah disetujui sekolah dan beberapa perwakilan wali kelas, sehingga pengumuman diserahkan pada wali kelas. “Uang itu sifatnya partisipasi, dan bukan transaksi. Karena tidak ada sekolah yang gratis. Soal tidak adanya kuitansi, karena ini sifatnya partisipasi, bukan jual beli," tegasnya.
Dikatakan uang Rp 200.000 itu merupakan hasil rata yang didapat dari harga empat item dibagi dengan  215 siswa kelas tiga. "Berdasarkan informasi yang saya terima, total harganya Rp 43 juta. Kalau dibagi rata jadi sekitar Rp 200.000," paparnya.
Kurdi menegaskan, jika niat baik tersebut masih diragukan, dia mempersilakan pada orangtua murid yang tidak percaya bisa ikut menghitung uangnya dan ikut membelanjakan bersama-sama.
William Adiputra JT

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More